Sulamto Jadikan Sungai Sebagai Sumber Gizi.
Sulamto, pria kelahiran Wonosobo 17 Agustus 1974 ini merupakan petani swadaya sawit dari Desa Mekarsari, Kecamatan Rimbo Ulu, Kabupaten Tebo yang mendorong upaya pelestarian Sungai Bina Marga.
Ia menjuluki sungai dengan slogan “sungai adalah sumber gizi”. Atas keprihatinannya melihat sungai yang semakin mendangkal, ia mendukung Pemerintah Desa Mekarsari untuk melakukan normalisasi sungai secara swadaya.
Sungai tersebut dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk memancing yang hasilnya digunakan untuk konsumsi sehari-hari.
Saat ini Sulamto dipercaya petani swadaya sawit sekitar Desa Mekarsari, Sumber Sari, Sido Rukun, dan Sido Mulya untuk memimpin asosiasi petani sawit, Perkumpulan Petani Sawit Rimbo Ulu (PPSRU).
PPSRU saat ini dipimpin Sulamto untuk mencapai sertifikasi ISPO dan RSPO.
Ia mengelola kebun sawit sejak orang tuanya mengikuti program transmigrasi di Rimbo Ulu.
Meski telah lama mengelola kebun sawit, namun Sulamto tak berhenti belajar cara pengelolaan sawit berkelanjutan. Ia juga terbukti fasih meneruskan ilmu ini kepada petani yang lebih luas.
Solamto telah menularkan ilmu pengelolaan sawit berkelanjutan dengan menerapkan cara yang ramah lingkungan seperti membersikan kebun dengan dibabat, mengurangi takaran penggunaan pupuk kimia, menggunakan Alat pelindung Diri (APD).
Juga pentingnya peran perempuan dalam pengelolaan kebun sawit, Good Agriculture Practices (GAP), sertifikasi ISPO dan RSPO, serta perlakuan limbah B3 di kebun.
Ia tak menemukan kendala berarti ketika mengemban kelas di beberapa desa. Ia menuturkan ketika menjadi pelatih petani swadaya sawit, ia harus menggunakan pendekatan yang sesuai dikarenakan petani yang mengikuti kelasnya memiliki tingkat pendidikan yang beragam.
Harapannya, ilmu tersebut dapat terus disebarkan kepada petani yang lebih luas agar petani semakin pintar dan maju. Selama ini petani mengelola kebun dengan cara lama mengikuti orang tua. Kini ia dan PPSRU ingin terus menggaungkan pengelolaan sawit berkelanjutan. Meski tak semudah membalikkan telapak tangan, ia tak menyerah.
Sutikno, Terapkan Sawit Berkelanjutan Untuk Lawan Black Campaigne Tentang Sawit
Sutikno, petani swadaya asal Desa Sumber Sari Kecamatan Rimbo Ulu, Kabupaten Tebo yang mendukung penuh penerapan sawit berkelanjutan untuk melawan black campaigne tentang sawit.
Pria kelahiran Blora, 17 Mei 1972 ini tekun merawat kebunnya dengan menerapkan tata kelola yang lebih ramah lingkungan.
Ia menggunakan kotoran hewan sebagai pupuk tanaman sawit di kebunnya. Hasilnya cukup baik, apalagi ia memanen sawit saat buah benar-benar matang.
Pria yang juga berperan sebagai staf di Kantor Desa Sumber Sari ini mengajarkan kepada petani lainnya untuk menerapkan sawit berkelanjutan dengan memanfaatkan kotoran hewan sebagai pupuk, menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) saat berkebun, membersihkan kebun dengan dibabat, serta penerapan ramah lingkungan lainnya.
Sutikno menerapkan proses diskusi dalam setiap pelatihan sawit berkelanjutan yang ia emban. Ia menerapkan diskusi dalam kelas agar petani dapat saling berbagai pengalaman dengan petani lainnya. Hal ini ia harapakan dapat membuat peserta pelatihan dapat menyerap materi dengan lebih mudah.
Bukan hanya kontekstual, ia memberikan kesempatan kepada para petani di kelasnya untuk menceritakan pengalaman dan evaluasi agar petani swadaya sawit semakin baik dalam pengelolaan dan volume panen.
Bukan tanpa tantangan, ia harus mengambil kepercayaan para petani yang menjadi peserta di kelasnya agar materi dapat diserap dengan baik mengingat kini petani di Rimbo Bujang sudah banyak yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana.
Baginya, hal tersebut sangat menyenangkan, menjadi trainer bukan hanya perkara mentransfer ilmu tetapi juga memperluas wawasan serta menambah persaudaraan.
Bukan hanya berorientasi pada keuntungan hasil berkebun sawit, ia memanfaatkan lahan di sekitar rumahnya menjadi kebun hortikultura dengan menanam terong, cabai, serta tanaman buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tanaman buah serta hortikultura di sekitar rumahnya tumbuh subur serta ia memetik manisnya buah pada saat panen. Hasilnyapun berlimpah, terutama buah durian.
Hal ini tentu tak terlepas dari perannya mengelola kebun sawit dengan cara yang lebih ramah lingkungan.
Parwoto, Lakukan Riset Penggunaan Pupuk Organik Secara Mandiri
Parwoto, petani swadaya sawit dari Desa Mekarsari Kecamatan Rimbo Ulu Kabupaten Tebo melakukan riset untuk melihat perbedaan penerapan pupuk organik dengan pupuk kimia secara mandiri di kebun sawit miliknya.
Sejak 2021 ia mendalami ilmu sawit berkelanjutan untuk kemudian meneruskannya kepada petani yang lebih luas lagi.
Pada 2020, Parwoto menjadi pengurus Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk replanting di kawasan Rimbo Bujang. Hal ini adalah awal mula ia mendedikasikan diri untuk petani di desanya.
Ia mengabdikan dirinya kepada masyarakat sebagai guru, aktif dalam lembaga kemasyarakatan, serta menularkan ilmu sawit berkelanjutan di beberapa desa di Rimbo Ulu.
Good Agriculture Practices (GAP) adalah materi sawit berkelanjutan yang sangat ia gemari untuk dibagikan kepada petani lainnya.
Ia berharap materi yang telah dibagikan kepada petani dapat diserap dengan baik. Hal ini telah terbukti dengan petani swadaya yang telah mengikuti kelasnya selalu menggunakan APD pada saat berkebun.
Sebelumnya petani di sekitarnya menggunakan ilmu berdasarkan pengetahuan sekedarnya.
Untuk mendukung passion dalam berkebun dan menjadi trainer, pria kelahiran Rimbo Bujang, 4 Juli 1988 ini sedang melakukan riset penggunaan kotoran hewan cair, biojus, dan tangkos untuk memupuk kebun sawit miliknya.
Baginya berbagai ilmu kepada orang lain harus berdasarkan pengalamnnya. Dalam risetnya, ia mengamati setiap detil perubahan atau dampak dari berbagai macam pupuk organik yang ia terapkan.
Ia mengamati mulai dari kondisi pelepah, warna daun, hasil panen dan lainnya. Ia berharap risetnya dapat memberikan manfaat untuk masyarakat luas.
Tak memlulu mulus, ia juga menghadapi tantangan ketika menjadi lokal trainer, yaitu membagi waktu antara mengurus kebun, ternak sapi, dan menjadi guru di sebuah sekolah negeri di Rimbo Ulu.
Siti Juwairiyah, Petani Swadaya Perempuan Yang Tangguh
Bu RT, demikian sapaan Siti Juwairiyah. Seorang petani swadaya sawit dari Desa Sumber Sari, Rimbo Ulu, Tebo yang juga mengayomi masyarakat sekitarnya. Perannya menjadi ketua Rukun Tetangga ditambah pengalamannya mengajar di sebuah sekolah negeri di kawasan Rimbo Bujang.
Dulu ia harus menempuh perjalanan menantang untuk menuju ke sekolah tempatnya mengajar. Ketika itu jalan di depan rumahnyapun masih berupa tanah merah dan bebatuan. Ketika hujan tiba, ia harus siap dengan segala kemungkinan termasuk terpeleset atau terjungkal dari kendaraan yang ia kendarai.
Siti, kini dipercaya menjadi ketua RT di tempat tinggalnya. Tentu banyak masalah yang harus diselesaikan mengingat masyarakatnya yang beragam.
Pengalaman tersebut yang membuatnya sangat cocok menjadi lokal trainer untuk melatih petani swadaya sawit tentang sawit berkelanjutan yang materinya terdiri dari Good Agriculture Practices (GAP), K3 B3, gender yang menjelaskan pentingnya peran perempuan dalam mengelola kebun.
Juga tentang sertifikasi ISPO dan RSPO, serta menjadi auditor internal ISPO.
Kecakapannya berkomunikasi menjadi modal penting untuk mengajarkan kepada petani lainnya tentang sawit berkelanjutan.
Ibu dua anak ini mengelola yang telah lama hidup dan mengelola kebun sawit sejak masa transmigrasi orang tuanya. Pembawaannya yang selalu ceria membuat penyampaiannya mudah diterima oleh petani lainnya.
Pardamaian, Kelola Sawit Dengan Tangannya Sendiri
Pardamaian seorang petani swadaya sawit dari Desa Sumber Sari, Rimbo Ulu, Tebo yang menjadi lokal trainer untuk membagikan ilmu sawit berkelanjutan kepada petani di sekitarnya.
Hal ini berawal dari Training of Trainer sawit berkelanjutan dari Yayasan Setara Jambi yang ia ikuti pada awal 2021.
Ia mengelola kebun sawitnya secara langsung mulai dari membersihkan lahan, menyiapkan lubang, menanam, serta pengelolaan kebun sawit. Hal ini membuatanya semakin cakap dalam berbagai ilmu kepada petani lainnya. Ia melakukan sendiri langkah pengelolaan sawit sejak awal.
Sarjana pskologi yang berpengalaman mengajar sebagai guru di SMA sebagai guru geografi selama hampir 6 tahun membuatynya memiliki metode belajar untuk petani dengan lebih komunikatif.
Meski peserta di kelasnya mayoritas adalah petani yang jauh lebih berumur, namun hal tersebut ia manfaatkan sebagai peluang untuk bertukar pengalaman pengelolaan sawit. Pengalaman yang positif akan diduplikasi bersama sedangkan yang kurang tepat akan diperbaharui ke arah yang lebih baik.
Mengajar di dusun sendiri menjadi nilai tambah baginya kerena peserta telah mengenalnya sebagai petani sawit.
Menurut Pardamaian, selama ini oetani mengelola kebun secara otodidak berdasarkan pengalamn orang tua mereka. Kini ia mengajak petani sawit di sekitarnya untuk menerapkan pengelolaan kebun secara berkelanjutan demi kemajuan petani itu sendiri.
Menurutnya pelatihan yang ia ampu bersama lokal trainer lainnya sangat bermanfaat bagi petani mengingat petani di sekitarnya belum pernah mendapatkan sentuhan dan pelajaran mengenai sawit berkelanjutan.
Pria kelahiran Pelayang 31 Mei 1983 ini memiliki harapan besar untuk petani swadaya sawit di sekitarnya. Baginya, jika petani kompak dalam mengupayakan sawit berkelanjutan, makan petani tidak hanya Makmur namun dapat mengupayakan asosiasi untuk meraih sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) dan Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO).
Bertukar Pengalaman Antar Petani, Cara Bambang Supriyanto Rubah Perilaku Petani ke Arah Lebih Baik
Bambang Supriyanto, yang merupakan tenaga pengajar di salah satu Sekolah menengah Atas Negeri di Kabupaten Tebo memiliki modal untuk menularkan ilmu tentang sawit berkelanjutan kepada petani sawit di sekitarnya.
Selain mengelola kebun sawit miliknya sendiri, ia juga mengikuti Training Of Trainer sawit berkelanjutan pada 2021 yang diadakan oleh Yayasan Setara Jambi.
Meski ia tidak memiliki latar belakang pendidikan tentang perkebunan, namun Bambang mencari tahu dan selalu menambah wawasan tentang pengelolaan sawit.
Bukan hanya berbekal dari ilmu yang ia dapatkan pada saat TOT, ia juga mengimprovisasi caranya mengelola kebun miliknya untuk kemudian dibagikan kepada petani lainnya di berbagai pelatihan tentang pengelolaan sawit berkelanjutan.
Ia menggunakan teknik kolaborasi dalam menularkan ilmu kepada petani lainnya. Ia akan dengan senang hati untuk menggandeng pelatih lainnya saat mengajarkan ilmu kepada petani lainnya. Menurutnya, hal tersebut untuk menarik petani agar aktif berdiskusi pada saat mengikuti pelatihan.
Ilmunya semakin bertambah denagn mengikuri TOT kembali pada tahun 2023 dengan kapasitas ilmu yang lebih banyak lagi, seperti materi gender, K3 dan B3.
Ia memberikan contoh untuk memberikan ruang kepada perempuan untuk diberi kesempatan turut mengelola perkebunan sawit dengan menerapkan ilmu yang telah ia dapatkan.
Saat pelatihan, ia mengolah informasi yang dihimpun dari para petani yang menjadi peserta dalam pelatihannya untuk saling bertukar pengalaman dan mencari solusi atau pilihan terbaik dalam pengelolaan kebun.
Dengan bertukar pikiran, ini menjadi cara untuk memotifasi petani untuk merubah prilaku yang sebelumnya kurang baik menjadi menerapkan sawit berkelanjutan.
Pria kelahiran Rimbu Bujang, 1 September 1989 tersebut memantau, kini petani di sekitarnya telah mulai disiplin dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) ketika berkebun.
Ratna Yunita Sari, Tak Hanya Menghitung Profit Tetapi Juga Unsur Lingkungan
Tidak banyak wanita yang mengelola perkebunan sawit. Namun hal tersebut bukan menjadi kendala bagi Ratna Yunita Sari. Berlatar belakang Matematika murni yang lulus pada tahun 2012 dari Universitas Negeri Yogyakarta membuatnya mampu membuat perhitungan yang tepat.
Ia berpikir untuk mendapatkan hasil memuaskan namun tetap memperhatikan unsur lingkungan. Ia mengelola kebun sawit miliknya dengan ilmu yang ia dapatkan dari pelatihan sawit berkelanjutan.
Tinggal dan berjibaku dengan perkebunan sawit sejak 2010 di Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi membuatnya tergugah untuk menularkan kepada petani swadaya sawit lainnya untuk menerapkan pengelolaan sawit berkelanjutan.
Bagi Ratna, mendapatkan keuntungan dari berkebun sawit tanpa memperhatikan unsur lingkungan sama saja sia-sia. Ia menyadari akan ilmu taman tuai. Jika melakukan perbuatan baik maka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Ia tak ingin pemupukan secara berlebihan untuk mendapatkan hasil panen berlimpah. Ia menyadari segala sesuatu yang berlebihan juga akan memberikan dampak yang kurang baik.
Meski ia membutuhkan orang lain untuk membantunya mengelola kebun sawit yang ia miliki, namun ia memantau secara langsung proses pemupukan dan pembersihan kebun. Ia tidak ingin perlakuan pengelolaan kebun yang tanpa takaran justru membuatnya merugi di masa mendatang.
Ia juga ingin semua orang yang terlibat dalam pengelolaan kebun miliknya telah menerapkan prinsip sawit berkelanjutan.