• 0741-5911449
  • info@setarajambi.org
  • Mayang, Komplek Kehutanan, Jambi
Pangan
Petani Muda Hilang Dalam Gelombang Social Media

Petani Muda Hilang Dalam Gelombang Social Media

Oleh: Irwan Hadi Syamsu

Marilah sejenak meneropong ke masa lalu, ketika Soekarno menempatkan Marhaen – seorang buruh tani yang memiliki lahan tidak lebih dari sepertiga hektar sebagai Very Important Person yang harus diperhatikan kesejahterannya. Marhaenisme, anak ideologis Bapak Bangsa yang lahir sejak beliau menyadari bahwa pertanian adalah penopang pangan negara.

Sebagai Negara Agraris, Indonesia tentu menggantungkan kehidupan kepada sektor pertanian. Badan Pusat Statistik mencatat lahan panen padi pada tahun 2020 adalah 10,66 juta hektar, namun terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Berbanding lurus dengan data itu, jumlah petani pada tahun yang sama adalah 33,4 juta, dan secara konstan menyusut kian tahun. Bahkan, Bappenas memperkirakan pada tahun 2063 petani akan hilang sama sekali dari tanah Indonesia yang dijuluki “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini.

Hal ini menjadi masuk akal, ketika petani didominasi oleh generasi tua dengan pendidikan seadanya. LIPI mencatat bahwa rata-rata usia petani di Indonesia adalah 52 tahun. Pemuda yang diharapkan menjadi ujung tombak ketahanan pangan seperti dikebiri oleh hingar bingar media sosial. Persentase pemuda yang bekerja pada sektor pertanian hanya 21 persen dari 64,50 juta total usia pemuda di Indonesia. Pemicu utama masalah ini adalah ketersediaan lahan, prestise sosial, dan rendahnya pendapatan bidang kerja pertanian.

Generasi Petani dan Krisis Negeri

Krisis generasi petani, sangat memungkinkan terjadinya berbagai persoalan terutama terkait ketahanan pangan. Generasi tua dengan pengetahuan seadanya tentu berdampak terhadap produktifitas hasil pertanian. Survey Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa dari total 38 juta petani di Indonesia, 25,6 juta diantaranya berpendidikan di bawah Sekolah Dasar. Menilik pada rendahnya pendidikan petani di Indonesia, maka akselerasi kedaulatan pangan yang dicita-citakan Pemerintah Indonesia akan semakin sulit untuk didorong. Masanobu Fukuoka – Bapak Natural Farming Jepang, mengatakan “Bukannya teknik bertanam yang merupakan faktor yang paling penting, melainkan lebih kepada pikiran petaninya”.

Beriringan dengan berkurangnya produktifitas sektor pertanian, jumlah penduduk meningkat setiap tahunnya. Ketidakseimbangan hasil produksi dan kebutuhan konsumsi ini secara absolute mengganggu ketersediaan pangan di Indonesia. Sebab itu, krisis generasi petani adalah langkah awal menuju krisis pangan negeri.

Setali tiga uang dengan ancaman krisis pangan, berkurangnya generasi petani juga memicu permasalahan pada aspek lingkungan. Lahan-lahan pertanian yang terlantar karena tidak ada lagi yang menggarap bisa berubah fungsi menjadi lahan perumahan, industri, dan infrastruktur lainnya sehingga lahan-lahan pertanian akan semakin menyusut dan muncullah permasalahan ketidakseimbangan lingkungan.

Pemuda dan Pertanian di Jambi

Pertemuan Yayasan Setara Jambi dengan Pemerintah Desa dan perwakilan petani dari enam desa yang menjadi lokasi dampingan di Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi (21/5) menegaskan bahwa problematika tergerusnya minat bertani pemuda adalah salah satu penyakit yang harus segera disembuhkan. Salah seorang dari petani mengatakan bahwa ketika anaknya diminta menjaga padi dari hama burung, sang anak malah asyik menjaga relasinya melalui telepon seluler. Alhasil, burung kenyang dan hasil panen berkurang.

Seluruh Datuk – panggilan untuk pimpinan tertinggi di sebuah desa – yang hadir juga mengamini bahwa petani yang menghabiskan waktunya di sawah adalah Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang berusia hampir senja, rata-rata 50 tahun keatas. Jadilah mereka para petani tua yang bermodal pengalaman panjang tanpa didukung pengetahuan agriculture yang memadai.

Datuk Alamsyah – Kepala Desa Sekernan mengatakan “Anak muda di Desa sekarang lebih memilih menjadi karyawan swasta, PNS, honorer, atau pengusaha, katanya lebih keren. Apalagi mereka kan sudah disekolahkan tinggi-tinggi, malu katanya jadi petani. Penghasilannya juga sedikit”.

Padahal, terdapat ratusan hektar lahan tidur yang tersebar di enam desa, yang jika dimanfaatkan dengan baik tentu akan berdampak positif terhadap ketersediaan pangan dan stabilitas ekonomi.

Dari pertemuan tersebut, Yayasan Setara Jambi mendapatkan beberapa rekomendasi terkait peningkatan minat pemuda terhadap sektor pertanian. Diantara rekomendasi tersebut adalah perlunya pelatihan-pelatihan pertanian untuk generasi millenial, regenerasi petani melalui kurikulum pendidikan, serta mengkampanyekan bahwa menjadi petani itu keren, agar pemuda lebih tertarik kepada dunia pertanian.

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali” – Tan Malaka”

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *